Translate

Wednesday, February 13, 2013

Antara valentine , keperawanan dan kondom

Seorang remaja tampak kebingungan ketika di nasehatiortunya, nak jangan melakukan sex bebas, karena sex itu nikmat.
Jika anda belajar sedikit ilmu psikologi, anda pasti bisa menduga apa yang akan dilakukan remaja ini ketika mendapat sebuah nasehat “bernada promosi” seperti itu. Tentu, dia akan memilih promosinya ketimbang memilih nasehatnya.
Masa remaja adalah fase kehidupan dimana mereka lebih menggunakan emoisonal ketimbang akal, lebih mendahulukan keinginan ketimbang fikiran. Maka ketika di hadapkan pada dua buah pilihan, pertama “jangan”, di butuhkan akal dan fikiran untuk mencerna kata ini. Pilihan kedua “nikmat” hanya di butuhkan emosional dan keingingn untuk mehami kata ini. So, jelas, kata jangan akan kalah telak dengan kata nikmat dalam pergolakan kepribadian remaja.
Lantas mari bayangkan, jika anda trus menerus memberikan nasehat konyol begini pada remaja2, seberapa banyak remaja yang akan kehilangan keperawanan dan keperjakaan kedepanya, karna nasehat2 bijak anda tersebut lebih layak anda sampaikan dalam diskusi ibu2 arisan atau anda perbincangkan dengan pasangan anda ketika hendak bercumbu di tempat tidur sebagai pengganti obat yag di rekomendasikan dr boyke.
Bahwa nasehat2 konyol sepreti itu kemudian membuat saya sebagai remaja (tapi gak terlalu remaja) terus terang merasa risih dengan tulisan-tulisan di kompasia ini, terutama ketika memasuki even seperti valentine, tahun baru, dan semacamnya yang berkaitan dengan potensi terjadinya seks bebas di kalangan remaja. Risih,karena tulisan2 vulgar tersebut berbentuk seolah2 nasehat suci dan himbauan tetapi jika di selidiki isinya lebih kepada sensasi provokasi dan promosi.
Misal sebuah tulisan dengan judul, Waspadai Valentine sebagai ajang melepas keperawanan, atau, penjualan kondom meningkat di malam tahun baru, atau ada kondom di balik coklat, atau 80% gadis SMP kehilangan keperawanan di malam valentine, dimana isi tulisan lebih menekankan soal fakta, statistik, modus, bahkan tidak jarang kronologi secara detil, yang kemudian di alinea terahir di ujung kalimat di selipkan sebuah nasehat klasik, janganlah kita kebablasan melakukan seks bebas. Saya menyebut tulisan jenis ini sebagai tulisan sensasi suci, karena isinnya tidak lebih dari sekedar sensasi yang di bumbui secuil nasehat dan di selundupkan atas nama informasi dan keprihatinan.
Karena jika remaja membaca tulisan begini, maka andaharus yakin, mereka lebih memilih terangsang membaca “cerita sex” yang anda sajikan ketimbang mengikuti nasehat anda dan memahami keprihatinan anda, mereka lebih memilih “nikmat” yang anda promosikan ketimbang patuh pada omong kosong “jangan” anda yang satu baris itu.
Fakta-fakta negatif yang di beritakan tanpa filter dan angle yang pas justru akan menjadi semacam legitimasi psikologis bagi para remaja untuk kemudian membenarkan dn meniru perbuatan serupa. Dari yang sebelumnya tidak tahu hari valentine sebegai hari sex, jadi tahu, dari yang sebelumnya tidak kenal kondom, jadi mengenal, dari yang sebelumnya memandang hormat gadis SMP, jadi memandang rendah karena pemberitaan 80% gadis SMP kehilangan keperawanan di malam valentine, dst.
Bahwa kemudian kita bisa menjadikan ini sebagai cerminan dari wajah media di indonesia. Ketika media lebih memilih berlomba2 menjual sensasi ketimbang memberikan pencerdasan. Kalau tidak percaya silahkan tulis sebuah tulisan yang bertemakan keperawanan dan kaitanya dengan valentine, kalau boleh ceritanya agak panas dan detil tambahkan kata kondomnya, maka saya jamin tulisan anda nongkrong di HL minimal terkomendasi.
Itu di level kompasiana. begitu juga halnya denga media lain. Sensasi masih menjadi produk utama yang beresiko pada semakin runtuhnya moral bangsa. Sebut saja kasus pemerkosaan angkot yang marak belakangan ini, yang seoalah mejadi bola salju yang kian menggelinding membesar. Itu tidak terlepas dari pemberitaan vulgar media, yang kemudian menjadi “inspirasi” bagi para pelaku kejahatan.
Jadi, sebenarnya saya ingin mengucapkan satu hal, hidup sensasi.

Sumber : kompasiana

No comments:

Post a Comment